Sabtu, 16 Mei 2009

Gangguan Belajar: Disleksia

GANGGUAN BELAJAR (LEARNING DISABILITIES) : DISLEKSIA


I. PENDAHULUAN
Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai seorang pendidik harus mengidentifikasi gangguan-gangguan belajar yang dapat terjadi pada anak.
Gangguan kesulitan belajar (learning disabilities/ LD) merupakan salah satu permasalahan yang banyak ditemui dalam dunia pendidikan. LD menyangkut ketidak mampuan siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya secara tepat. LD adalah kondisi yang dialami siswa berkait dengan adanya hambatan, keterlambatan dan ketertinggalan dalam kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Siswa yang berkesulitan belajar adalah siswa yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga presatsi belajarnya rendah dan anak beresiko tinggi tinggal kelas (Yusuf, M, 2003).
Gangguan belajar sangat berbeda dari keterlambatan mental dan terjadi dengan normal atau bahkan fungsi intelektual tinggi. Gangguan belajar hanya mempengaruhi fungsi tertentu, sedangkan pada anak dengan keterlambatan mental, kesulitan mempengaruhi fungsi kognitif secara luas.
Terdapat tiga jenis gangguan belajar : gangguan membaca, gangguan menuliskan ekspresi, dan gangguan matematik. Dengan demikian, seorang anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan memahami dan mempelajari matematika yang signifikan, tetapi tidak memiliki kesulitan untuk membaca, menulis, dan melakukan dengan baik pada subjek yang lain. Salah satu penyebab gangguan belajar (learning disability/ LD) yang sering terjadi dikenal dengan istilah disleksia, yaitu gangguan membaca spesifik pada anak. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1896. Disleksia mengenai sekitar 80% dari kelompok individu dengan gangguan belajar. Disleksia terjadi pada 5%-10% seluruh anak di dunia. Gangguan belajar tidak termasuk masalah belajar yang disebabkan terutama masalah penglihatan, pendengaran, koordinasi, atau gangguan emosional.
Contoh disleksia adalah seorang teman agak cemas ketika anaknya yang berumur 3 tahun selalu terbalik-balik mengucap kata-kata tertentu. Misalnya saja kata sobek disebut rsebok atau kata gajah disebut jagah. Setelah diperiksa, ternyata si anak menderita disleksia.
Yang menarik, disleksia ternyata tidak hanya menyangkut kemampuan baca dan tulis, melainkan bisa juga berupa gangguan dalam mendengarkan atau mengikuti petunjuk, bisa pula dalam kemampuan bahasa ekspresif atau reseptif, kemampuan membaca rentetan angka, kemampuan mengingat, kemampuan dalam mempelajari matematika atau berhitung, kemampuan bernyanyi, memahami irama musik, dll.
Ternyata pula disleksia ini bukan hanya terjadi pada anak-anak saja. Orang dewasapun mengalaminya. Contohnya saja Presiden George W Bush pernah salah saat berkampanye. Ingin menyebut peacemaker menjadi pacemaker, yang artinya sungguh jauh berbeda.

II. PERMASALAHAN
1. Apa itu disleksia?
2. Apakah ciri-cirianak yang mengalami disleksia?
3. Adakah individu disleksia mempunyai keistimewaan ?
4. Masalah-masalah apa saja yang mungkin dialami anak disleksia?
5. Bagaimana membantu anak-anak bermasalah disleksia ?

III. PEMBAHASAN
Kesulitan belajar pertama kali dirumuskan sebagai kesulitan belajar secara spesifik. Pada tahun 1878 dr. Kussmaul dari Jerman melaporkan adanya seorang lelaki yang mempunyai kecerdasan normal tapi tidak dapat membaca, yang diistilahkannya sebagai ”buta membaca” (reading blindness). Sembilan tahun kemudian, Dr. Berlin, doctor berkebangsaan Jerman yang lain, menamakan kondisi tersebut dengan dyslexia.
Disleksia (bahasa Inggris: dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani δυς- dys- ("kesulitan untuk") dan λέξις lexis ("huruf" atau "leksikal").
Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa.
Terminologi disleksia juga digunakan untuk merujuk kepada kehilangan kemampuan membaca pada seseorang dikarenakan akibat kerusakan pada otak. Disleksia pada tipe ini sering disebut sebagai "Alexia". Selain mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis, disleksia juga ditenggarai juga mempengaruhi kemampuan berbicara pada beberapa pengidapnya. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah.
Para peneliti menemukan disfungsi ini disebabkan oleh kondisi dari biokimia otak yang tidak stabil dan juga dalam beberapa hal akibat bawaan keturunan dari orang tua. Tokoh-tokoh terkenal yang diketahui mempunyai disfungsi dyslexia adalah Albert Einstein, Tom Cruise, Orlando Bloom, Whoopi Goldberg dan Vanessa Amorosi

3. 1. Apa yang dimaksud dengan disleksia?
Disleksia berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata ”dys” yang berarti kesulitan, dan kata ”lexis” yang berarti bahasa. Jadi disleksia secara harafiah berarti ” kesulitan dalam berbahasa.” Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis dan beberapa aspek bahasa yang lain. Kesulitan membaca pada anak disleksia tidak sebanding dengan tingkat intelegensi ataupun motivasi yang dimiliki untuk kemampuan membaca dengan lancar dan akurat, karena anak disleksia biasanya mempunyai lebel intelegensi yang normal bahkan sebagian di antaranya di atas normal. Disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan neurobiologis, yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat / akurat, dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengkode simbol.
Ada juga ahli yang mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemprosesan input/informasi yang berbeda (dari anak normal) yang seringkali ditandai dengan kesulitan dalam membaca, yang dapat mempengaruhi cara kognisi seperti daya ingat, kecepatan pemprosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi dan pengendalain gerak. Dapat terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek perkembangan.
Menurut Jovita Maria Ferliana (dalam pengantar Living with Dyslexia, 2007), penderita disleksia sebenarnya mengalami kesulitan membedakan bunyi fonetik yang menyusun sebuah kata. Mereka bisa menangkap kata-kata tersebut dengan indera pendengarnya. Namun, ketika harus menuliskannya dengan huruf-huruf yang mana saja. Dengan demikian, dia juga kesulitan menuliskan apa yang ia inginkan ke dalam kalimat-kalimat panjang yang akurat.

3. 2. Disleksia dan otak kita.
Tahun 1891 Dejerine telah melaporkan bahwa proses membaca diatur oleh bagian khusus dari sistem saraf manusia yaitu di bagian belakang otak. Pada tahun 1896, British Medical Journal melaporkan artikel dari Dr. Pringle Morgan, mengenai seorang anak lelaki berusia 14 tahun bernama Percy yang pandai dan mampu menguasai permainan dengan cepat tanpa kekurangan apapun dibandingkan teman-temannya yang lain namun Percy tidak mampu mengeja, bahkan mengeja namanya sendiri.
Beberapa teori mengemukakan penyebab disleksia. Selikowitz (1993) mengemukakan beberapa penyebab utama disleksia. Selikowitz membagi pada dua keadaan penyebab secara umum, yakni faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetis, yaitu dari garis keturunan orangtuanya (tidak harus orangtua langsung, bisa dari kakek-nenek atau buyutnya).
Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat anatomi antara otak anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian temporal-parietal-oksipitalnya (otak bagian samping dan bagian belakang). Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging yang dilakukan untuk memeriksa otak saat dilakukan aktivitas membaca ternyata menunjukkan bahwa aktivitas otak individu disleksia jauh berbeda dengan individu biasa terutama dalam hal pemprosesan input huruf/kata yang dibaca lalu ”diterjemahkan” menjadi suatu makna.

3. 3. Diagnosis Disleksia pada Anak
Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia ditegakkan secara klinis berdasarkan cerita dari orang tua, observasi dan tes psikometrik yang dilakukan oleh dokter anak atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog, profesional lain seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian anak disleksia yaitu dokter saraf anak (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan neurologis), audiologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan pendengaran), opthalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya gangguan penglihatan), dan tentunya guru sekolah.
Anak disleksia di usia pra sekolah menunjukkan adanya keterlambatan berbahasa atau mengalami gangguan dalam mempelajari kata-kata yang bunyinya mirip atau salah dalam pelafalan kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk mengenali huruf-huruf dalam alphabet, disertai dengan riwayat disleksia dalam keluarga.
Keluhan utama pada anak disleksia di usia sekolah biasanya berhubungan dengan prestasi sekolah, dan biasanya orang tua ”tidak terima” jika guru melaporkan bahwa penyebab kemunduran prestasinya adalah kesulitan membaca. Kesulitan yang dikeluhkan meliputi kesulitan dalam berbicara dan kesulitan dalam membaca.
• Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya.
• Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya esai
• Huruf tertukar-tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar ’w’, ’s’ tertukar ’z’
• Membaca lambat dan terputus-putus serta tidak tepat.
• Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”, “pada”).
• Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (“menulis” dibaca sebagai “tulis”).
• Tidak dapat membaca ataupun membunyikan perkataanyang tidak pernah dijumpai.
• tertukar-tukar kata (misalnya : dia-ada, sama-masa, lagu-gula, batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama).
• Daya ingat jangka pendek yang buruk
• Kesulitan memahami kalimat yang dibaca atau pun yang didengar
• Tulisan tangan yang buruk
• Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung
• Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek
• Kesulitan dalam mengingat kata-kata
• Kesulitan dalam diskriminasi visual
• Kesulitan dalam persepsi spatial
• Kesulitan mengingat nama-nama
• Kesulitan / lambat mengerjakan PR
• Kesulitan memahami konsep waktu
• Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan
• Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol
• Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari
• Kesulitan membedakan kanan kiri

Pertanda disleksia pada anak usia sekolah dasar.
Kesulitan dalam berbicara :
• Salah pelafalan kata-kata yang panjang
• Bicara tidak lancar
• Menggunakan kata-kata yang tidak tepat dalam berkomunikasi
Kesulitan dalam membaca:
• Sangat lambat kemajuannya dalam ketrampilan membaca
• Sulit menguasai / membaca kata-kata baru
• Kesulitan melafalkan kata-kata yang baru dikenal
• Kesulitan membaca kata-kata ”kecil” seperti: di, pada, ke
• Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan ganda
• Kesulitan menyelesaikan tes dalam waktu yang ditentukan
• Kesulitan mengeja
• Membaca sangat lambat dan melelahkan
• Tulisan tangan berantakan
• Sulit mempelajari bahasa asing (sebagai bahasa kedua)
• Riwayat adanya disleksia pada anggota keluarga lain.
(Shaywitz. S. Overcoming dyslexia. Ney York: Alfred A Knopf, 2003:12-124)


3. 4. Penyembuhan Disleksia
Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis. “Ketidak mampuannya” di masa anak yang nampak seperti “menghilang” atau “berkurang” di masa dewasa bukanlah kareana disleksia nya telah sembuh namun karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh disleksia nya tersebut.
Mengingat demikian “kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultsi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini dikenali, semakin “mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
Bantuan yang dapat diberikan kepada penderita disleksia :
- Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
- Anak duduk di barisan paling depan di kelas
- Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
- Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
- Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
- Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag: ”k, v, x, z”, bentuk linear: ”j, t, l, u, y”, bentuk hampir serupa: ”r, n, m, h”.
- Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar diterima oleh sang anak.
- Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.

VI. KESIMPULAN
1. Disleksia berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata ”dys” yang berarti kesulitan, dan kata ”lexis” yang berarti bahasa. Jadi disleksia secara harafiah berarti ” kesulitan dalam berbahasa.” Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis dan beberapa aspek bahasa yang lain.
2. Disleksia dapat disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Meskipun faktor genetik cenderung menjadi penyebab utama.
3. Tanda-tanda disleksia tidaklah terlalu sulit dikenali apabila para orangtua memerhatikan anak secara cermat. Jika perasaan Anda mengatakan ada sesuatu yang terasa berbeda pada anak Anda, segera periksakan sekarang.
4. Hasil penelitian telah menjelaskan semakin dini deteksi disleksia pada anak semakin baik. Waktu yang ideal untuk memulai program remediasi adalah antara usia empat sampai tujuh tahun.
5. Disleksia dapat disembuhkan dan peran orangtua sangat diperlukan untuk terlibat aktif untuk penyembuhan disleksia pada anak. Dukungan orangtua merupakan sumber utama bagi kesembuhan disleksia pada anak.

VII. DAFTAR PUSTAKA
1. Emmy. (2008). Jenis-jenis Disleksia. Dapat diperoleh melalui URL : http://sehatbugar.multiply.com/journal/item/102/102.html.
2. Meida, Ira. (2007). Disleksia Bukan Berarti Bodoh. Dapat diperoleh melalui URL : http://www.wikimu.com/news/DisplayNews.aspx?id=4926.html.
3. Selikowitz, Mark. (1995). Dyslexia and Other Learning Difficulties-The Fact. New York: Oxford University Press.
4. Yosri, Mohamed dan Yong, Mohamed. (2009). Dyslexia. Dapat diperoleh melalui URL http://www.geocities.com/alam_penyakit/PenyakitDyslexia.html.
5. Weinstein, Lissa. (2007). Living with Dyslexia: Pergulatan Ibu Melepaskan Putranya dari Derita Kesulitan Belajar. Bandung: Qanita.

Tidak ada komentar: